KOPENHAGEN, - Konferensi Perubahan Iklim PBB 2009 dibuka resmi di tengah suhu kota Kopenhagen, Denmark, yang hampir 0 derajat. Di hadapan delegasi dari 192 negara, Direktur Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer membuka pidatonya dengan kisah anak laki-laki Nyi Lay.

Anak laki-laki berusia 6 tahun itu harus kehilangan ayah, ibu, dan saudaranya akibat badai tropis. Kenaikan suhu global, yang saat ini sudah terjadi, di antaranya meningkatkan terjadinya badai tropis dengan bahaya lebih besar. Jutaan jiwa di kawasan pesisir pantai berada dalam bahaya akibat badai tropis ataupun kenaikan muka laut, seiring dengan melelehnya gunung es di kawasan kutub.

”Konferensi bisa disebut sukses hanya bila ada kesepakatan signifikan dan tindakan segera, sesaat setelah penutupan,” kata Yvo, Senin (7/12) di Kopenhagen, saat pembukaan. Sebelum pembukaan sejumlah LSM internasional menggelar spanduk mengingatkan pentingnya mendahulukan kepentingan dunia di atas kepentingan politik sesaat.

Seusai pembukaan aliansi organisasi masyarakat Tcktcktck menyerahkan petisi yang ditandatangani 10 juta orang. Mereka berseru kepada para pemimpin dunia untuk mewujudkan kesepakatan iklim yang adil, ambisius, dan mengikat.

Perdebatan panas

Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen menyatakan bahwa para delegasi memiliki beberapa perbedaan cara pandang terhadap kerangka perjanjian. Dua pekan mendatang akan diisi perdebatan panas delegasi.

Ia mengajak para delegasi mampu melewati hari-hari itu dan mencapai hasil yang bisa diterima semua pihak sekaligus kuat dan ambisius. ”Sebuah perjanjian yang efektif dan operasional,” kata dia.

Menurut Yvo, setidaknya dibutuhkan dana sebesar 10 miliar dollar AS sebagai awal pendanaan mitigasi, adaptasi, alih teknologi, dan pembangunan kapasitas di negara-negara berkembang. Kemauan politik harus dapat diterjemahkan dalam persoalan riil di atas.

Bencana mengancam

Ketua Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) Rajendra Kumar Pachauri menyebutkan, data ilmiah yang dikaji ribuan ahli dari seluruh dunia menemukan fakta, kenaikan suhu global telah menyebabkan kenaikan muka laut 17 sentimeter saat ini akibat kenaikan suhu rata-rata global 0,74 derajat celsius.

Artinya, negara-negara seperti Banglades dan negara pulau-pulau kecil dengan daratan 1-2 meter di atas permukaan laut berada dalam ancaman terendam. Semua bahaya ini disebabkan pola pembangunan yang rakus emisi sejak era kelahiran industri.

Pachauri secara khusus memuji Denmark sebagai laboratorium mitigasi perubahan iklim. Sejak dikenalkan pertama kali tahun 1980 lalu, turbin angin Denmark menghasilkan listrik 100 kali lipat.

Angka penjualan industri manufaktur turbin angin Denmark terus naik. Hal itu menunjukkan manfaat langsung ekonomi dari pembangunan ramah lingkungan rendah emisi.

Konferensi dua pekan ini akan dihadiri 110 kepala negara dan kepala pemerintahan, termasuk Presiden Barack Obama, yang tiga hari lalu mengubah jadwal kedatangannya menjadi tepat saat negosiasi diperkirakan kritis, 18 Desember, bersamaan dengan kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

”Kehadiran mereka merefleksikan determinasi politis untuk mengatasi perubahan iklim. Juga mewakili peluang amat besar yang jangan sampai terlewat,” kata Lars Lokke Rasmussen. Kedatangan ratusan kepala negara dan pemimpin pemerintahan diharapkan menghasilkan kesepakatan yang efektif.

Hingga kini negosiasi masih dibayang-bayangi kebuntuan terkait komitmen negara maju mengenai jumlah emisi yang akan diturunkan.

Kelompok organisasi nonpemerintah yang mengamati negosiasi iklim menyebutkan, negara maju harus menurunkan emisinya sebesar 40 persen pada tahun 2020 dari level emisi tahun 1990. Mereka juga harus menyiapkan pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebesar 195 miliar dollar AS pada tahun 2020.

Sementara itu, emisi dari perusakan hutan dan degradasi lahan dapat ditekan menjadi 0 persen pada tahun 2020 dengan bantuan pendanaan 35 miliar dollar AS. Persoalan pendanaan ini pula yang diperkirakan akan memakan waktu debat.

0 Comments:

Post a Comment



EARTH DAY for GLOBALWARMING | Template by - Abdul Munir - 2008